Laman

Rabu, 26 Januari 2011

Mengenali Diri Sendiri

Secara singkat dapat saya utarakan bahwa hal - hal yang harus dapat kita kenali dari diri kita adalah sebagai berikut:
  • Sifat - sifat dan karakter

    Setiap orang pasti membawa sifat-sifat dan karakternya sendiri-sendiri, setiap orang walaupun bisa saja ada kemiripan tapi tidak pernah ada yang sama persis dalam hal ini.

    Menurut saya sebenarnya sifat-sifat dan karakter dalam diri seseorang ini tidak ada batasan "baik-buruknya" karena bagaikan "rasa dan aroma dalam setiap masakan saja", hanya saja kalau banyak orang yang dapat menerima dan menyenangi maka dianggap "baik" sedangkan kalau banyak orang tidak dapat menerima dan tidak suka maka dinilai "tidak baik". Tentu pada akhirnya mau tidak mau harus "ada penilaian", kitapun tidak bisa terlepas dan sudah sewajarnya berusaha mengejar nilai-nilai berlaku yang baik.

  • Hasrat dan keinginan

    Setiap orang pasti memiliki hasrat dan keinginannya masing-masing, yang biasanya adalah merupakan refleksi dari sebuah bentuk ideal / cita-cita yang awalnya bersumber dari ego. Dalam bentuk yang paling sederhana dan murni bisa disimpulkan bahwa ego semua manusia itu pada dasarnya adalah "baik" karena secara alamiah bersumber dari "survival spirit" (naluri mempertahankan hidup). Sehingga setiap manusia selalu bermotivasi untuk mempertahankan hidupnya serta terus mengembangkan hidup ke kondisi yang semakin baik dan jauh dari resiko - resiko kesusahan baik secara fisik maupun mental.

    Nah, karena begitu kompleknya keadaan yang ada maka akhirnya latar belakang dan kesempatan yang ada pada seseorang akan berbeda dengan orang lainnya. Hal ini pulalah yang kemudian harus bisa juga dipahami dan disadari sehingga kita bisa benar-benar menyatu dengan hasrat dan keinginan kita sesuai kealamiahannya masing-masing (hasrat dan keinginan ini saya anggap sebagai suatu daya pendorong gerak yang sangat murni dan tulus). Tetapi tentunya keadaan sosial tetap harus dijadikan rambu-rambu keseimbangan geraknya.

  • Kemampuan

    Penguasaan terhadap suatu hal yang merupakan ciri khas seseorang yang dimiliki dan didapat secara dan dalam kealamiahannya masing - masing, haruslah terus digali dan dikembangkan serta dipergunakan secara positif demi kepentingan kebaikan yang semakin luas semakin baik. Dalam hal ini yang namanya kemampuan itu, normalnya memang akan selalu terasa kurang bagi semuanya, karena adanya kondisi persaingan yang semakin mengetat.

    Oleh karena itu jika bisa mengenal kemampuan diri maka secara lebih gampang pula kita dapat terus mengembangkannya sehingga mencapai suatu level yang relatif tinggi. Biasanya kemampuan seseorang itu berupa wawasan, pengetahuan, kepandaian dan keahlian, yang merupakan hasil dari perpaduan antara intelegensi dan emosi melalui proses belajar (baik sekolah maupun otodidak) serta pengalaman-pengalaman sepanjang hidupnya.

    Dari sini, maka kita dapat disimpulkan bahwa "belajar" dan "berlatih" adalah dua hal pokok yang sangat berperan dalam usaha meningkatkan kemampuan diri.

  • Ketidakmampuan & keterbatasan

    Diluar kemampuan yang ada, maka adalah hal yang alami pula bahwa setiap insan didunia ini selalu diliputi juga oleh ketidakmampuan dan keterbatasan (sengaja penulis tidak menggunakan kata "kelemahan" untuk memberikan nuansa optimisme).

    Adapun merupakan hal yang juga tidak kalah pentingnya dalam proses pengenalan diri kita masing-masing untuk justru lebih mengenal ketidakmampuan dan keterbatasan yang ada dengan motif untuk memperbaiki dan merubahnya sebisa mungkin sehingga menjadi faktor yang bahkan dapat diandalkan. Dalam masalah ini memang kemauan dan usaha keras secara konsisten mutlak diperlukan , karena biasanya untuk dapat bisa "mengakui" bahwa kita mempunyai ketidakmampuan dan keterbatasan saja sudah sangat sulit (karena harus melawan ego dan kesombongan kita) apalagi untuk merubahnya.

    Modal dasar utama yang diperlukan untuk mengatasi hal ini adalah kejujuran dan keterbukaan. Akan tetapi dilain sisi, jangan pula kita sampai terjerumus dan terseret arus pola berpikir pesimis yang akhirnya justru membesar-besarkan faktor ketidakmampuan dan keterbatasan yang ada menjadi senjata dan alasan untuk meng "cover" semua hal dalam kehidupan ini yang memang sulit dan berat bagi siapapun.

  • Latar belakang

    Latar belakang bisa dianggap sebagai akar dari semua perkembangan yang timbul dan ada sekarang ini bagi siapapun juga. Walau kita pada akhirnya memang tidak perlu mempermasalahkan tapi bisa memahami latar belakang dari diri kita sedikit banyak dapat berguna untuk mengetahui siapa dan bagaimana diri kita yang sesungguhnya.

    Oleh karena itu pula dalam metode-metode pengembangan kepribadian yang paling modern sekalipun, pemanfaatan latar belakang diri seseorang sebagai alat refleksi diri untuk membangkitkan pemicu semangat kearah yang lebih efektif masih sangat ampuh dan bermanfaat. Didalam hal ini kita sebagai seorang insan Tao modern yang proaktif tentunya diharapkan juga dapat memahami dan menyadari hal tersebut, sehingga dapat memandang diri sekarang ini secara komprehensif sebagai suatu hasil dari proses-proses terdahulu yang berkesinambungan untuk dijadikan landasan kearah depan yang lebih baik dan semakin baik.

Bagi sebagian orang mengenali diri sendiri mungkin adalah masalah yang mudah tapi umumnya sebagian besar orang menganggap adalah masalah yang sukar dan sulit. Secara pribadi saya sendiri berpendapat bahwa mengatasi proses pengenalan diri sendiri ini memang bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah dan gampang. Permasalahan utama yang sering timbul dan menghambat kita untuk dapat mengenali diri kita ini adalah kemampuan diri untuk berdiri secara "jujur, obyektif dan adil" dalam memberikan pandangan terhadap diri sendiri.

Nah, dalam kenyataannya memang hal inilah yang justru jarang bisa dilakukan oleh setiap orang . Akhirnya proses mengenali diri sendiri ini memang akan menjadi sangat sulit dan membingungkan karena faktor ketidak jujuran, ketidak obyektifan dan ketidak adilan dalam memandang diri itu sendirilah yang harus bisa disadari dan diperbaiki

Minggu, 02 Januari 2011

PENDIDIKAN POLITIK

Uung Mashuri

1.      Pengertian Pendidikan Politik

Istilah pendidikan politik dalam Bahasa Inggris sering disamakan dengan istilah political sucialization. Istilah political sosialization jika diartikan secara harfiah ke dalam bahasa Indonesia akan bermakna sosialisasi politik. Oleh karena itu, dengan menggunakan istilah political sosialization banyak yang mensinonimkan istilah pendidikan politik dengan istilah Sosialisasi Politik, karena keduanya memiliki makna yang hampir sama. Dengan kata lain, sosialisasi politik adalah pendidikan politik dalam arti sempit.
Menurut Ramlan Surbakti, dalam memberikan pengertian tentang pendidikan politik harus dijelaskan terlebih dahulu mengenai sosialisasi politik. Surbakti (1999:117) berpendapat bahwa:
Sosialisasi politik dibagi dua yaitu pendidikan politik dan indoktrinasi politik. Pendidikan politik merupakan suatu proses dialogik diantara pemberi dan penerima pesan. Melalui proses ini para anggota masyarakat mengenal dan mempelajari nilai-nilai, norma-norma, dan simbol-simbol politik negaranya dari berbagai pihak dalam sistem politik seperti sekolah, pemerintah, dan partai politik.

Pendapat di atas secara tersirat menyatakan bahwa pendidikan politik merupakan bagian dari sosialisasi politik. Pendidikan politik mengajarkan masyarakat untuk lebih mengenal sistem politik negaranya. Dapat dikatakan bahwa sosialisasi politik adalah proses pembentukan sikap dan orientasi politik para anggota masyarakat. Melalui proses sosialisasi politik inilah para anggota masyarakat memperoleh sikap dan orientasi terhadap kehidupan politik yang berlangsung dalam masyarakat.
David Easton dan Jack Dennis (Suwarma Al Muchtar, 2000:39) dalam bukunya Children in the Political System memberikan batasan mengenai political sosialization yaitu bahwa "Political sosialization is development process which persons acquire arientation and paternsof behaviour”. Sedangkan Fred I. Greenstain (Suwarma Al Ntuchtar, 2000:39) dalam bukunya Political Socialization berpendapat bahwa:
Political sosialization is all political learning formal and informal, delibrete and unplanne, at every stage of the life cycle inchiding not only explicit political tearning but also nominally nonpolitical learning of political lie relevant social attitudes and the acquistion of politically relevant personality characteristics.

Kedua pendapat di atas mengungkapkan bahwa pendidikan politik adalah suatu bentuk pendidikan yang dijalankan secara terencana dan disengaja baik dalam bentuk formal maupun informal yang mencoha untuk mengajarkan kepada setiap individu agar sikap dan perbuatannya dapat sesuai dengan aturan-­aturan yang berlaku secara sosial. Dalam hal ini dapat terlihat bahwa pendidikan politik tidak hanya mempelajari sikap dan tingkah laku individu. Namun pendidikan politik mencoba untuk mengaitkan sikap dan tingkah laku individu tersebut dengan stabilitas dan eksistensi sistem politik.
Kartini Kartono (1990:vii) memberikan pendapatnya tentang hubungan antara pendidikan dengan politik yaitu "pendidikan dilihat sebagai faktor politik dan kekuatan politik. Sebabnya, pendidikan dan sekolah pada hakekatnya juga merupakan pencerminan dari kekuatan-kekuatan sosial-politik yang tengah berkuasa, dan merupakan refleksi dari orde penguasa yang ada".
Berdasarkan pendapat di atas, dapat kita ketahui bahwa pendidikan dan politik adalah dua unsur yang saling mempengaruhi. Pengembangan sistem pendidikan harus selalu berada dalam kerangka sistem politik yang sedang ­dijalankan oleh pemerintahan masa itu. Oleh karena itu segala permasalahan yang terjadi di dunia pendidikan akan berubah menjadi permasalahan politik pada saat pemerintah dilibatkan untuk memecahkannya.
Pengertian dari pendidikan politik yang lebih spesifik dapat diambil dari pendapatnya Alfian (1981:235) yang mengatakan bahwa:
 "pendidikan politik dapat diartikan sebagai usaha yang sadar untuk mengubah proses sosialisasi politik masyarakat sehingga mereka rnemahami dan menghayati betul nilai-nilai yang terkandung dalam sistem politik yang ideal yang hendak dibangun".

Dari dua definisi yang tertera di atas, dapat kita ambil dua tujuan utama yang dimiliki oleh pendidikan politik. Pertama, dengan adanya pendidikan politik diharapkan setiap individu dapat mengenal dan memahami nilai-nilai ideal yang terkandung dalam sistem politik yang sedang diterapkan. Kedua, bahwa dengan adanya pendidikan politik setiap individu tidak hanya sekedar tahu saja tapi juga lebih jauh dapat menjadi seorang warga negara yang memiliki kesadaran politik untuk mampu mengemban tanggung jawab yang ditunjukkan dengan adanya perubahan sikap dan peningkatan kadar partisipasi dalam dunia politik
Rusadi Kartaprawira (1988:54) mengartikan pendidikan politik sebagai "upaya untuk meningkatkan pengetahuan politik rakyat dan agar mereka dapat berpartisipasi secara maksimal dalam sistem politiknya."
Berdasarkan pendapat Rusadi Kartaprawira tersebut, maka pendidikan politik perlu dilaksanakan secara berkesinambungan agar masyarakat dapat terus meningkatkan pemahamannya terhadap dunia politik yang selalu mengalami perkembangan. Pembelajaran pendidikan politik yang berkesinambungan diperlukan mengingat masalah-masalah di bidang politik sangat kompleks, bersegi banyak, dan berubah-ubah.
Merujuk pada semua pengertian pendidikan politik yang disampaikan oleh beberapa ahli di atas, pada akhirnya telah membawa penulis sampai pada kesimpulan yang menyeluruh. Bahwa yang dimaksud dengan pendidikan politik adalah suatu upaya sadar yang dilakukan antara pemerintah dan para anugota masyarakat secara terencana, sistematis, dan dialogis dalam rangka untuk mempelajari dan menurunkan berbagai konsep, simbol, hal-hal dan norma-­norma politik dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
2.      Perkembangan Pendidikan Politik
Pendidikan dan politik adalah dua elemen penting dalam sistem sosial politik di suatu negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Keduanya bahu-membahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat di suatu negara. Lebih dari itu, keduanya satu sama lain saling menunjang dan saling mengisi.
Lembaga-lembaga dan proses pendidikan berperan penting dalam membentuk perilaku politik masyarakat di negara tersebut. Begitu juga sebaliknya, lembaga-lembaga dan proses politik di suatu negara membawa dampak besar pada karakteristik pendidikan yang ada di negara tersebut.
Pemaparan di atas telah menggambarkan secara jelas bahwa terdapat hubungan yang erat dan dinamis antara pendidikan dan politik di setiap negara. Hubungan tersebut adalah realitas empiris yang telah terjadi sejak awal perkembangan peradaban manusia dan menarik perhatian banyak kalangan.
a.      Perkembangan Pendidikan Politik di Dunia Barat
Di negara-negara Barat, kajian tentang hubungan antara pendidikan dan politik telah dimulai oleh Plato dalam bukunya Republic. Plato merancang suatu sistem pendidikan yang bukan hanya menghasilkan suatu pandangan yang benar dan pemikiran yang tepat mengenai para pemimpin di masa datang, namun juga mengadakan seleksi terhadap orang-orang yang seharusnya tidak dapat dipilih menjadi pemimpin.
Menurut Plato, sekolah adalah salah satu aspek kehidupan yang terkait dengan lembaga-lembaga politik. Plato menjelaskan bahwa setiap budaya mempertahankan kontrol atas pendidikan. Kontrol tersebut terletak di tangan kelompok-kelompok elite yang secara terus menerus menguasai kekuasaan politik, ekonomi, agama, dan pendidikan. Plato menggambarkan adanya hubungan dinamis antara aktivitas kependidikan dan aktititas politik. Walaupun secara umum dan singkat, analisis Plato tersebut telah meletakkan dasar bagi  kajian hubungan politik dan pendidikan di kalangan ilmuwan ke generasi berikutnya.
Perkembangan dari pendidikan politik yang dilaksanakan secara universal pernah terjadi di Inggris pada abad 19. Seiring berjalannya waktu dan meningkatnya persaingan di bidang ekonomi dan industri telah menjadi alasan untuk menciptakan suatu masyarakat yang lebih berpendidikan. Selama ini, sistem pendidikan di Inggris dianggap gagal dan tidak dapat melaksanakan fungsinya dengan baik. Semuanya itu terlihat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Inggris yang diwarnai dengan banyaknya pengntiguran, generasi muda yang tidak dapat diatur, dan lunturnya rasa kebersamaan dalam masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah Inggris berusaha untuk mengembangkan sistem pendidikan yang mampu mengajarkan rasa hormat yang lebih baik kepada orang lain, rasa penerimaan terhadap kekuasaan, dan terciptanya suatu masyarakat yang terbiasa hidup disiplin.
Sistem pendidikan yang berlaku saat itu adalah sistem pendidikan liberal dalam tradisi pendidikan, liberal, ilmu politik menjadi tidak relevan. Sistem pendidikan ini beranggapan bahwa berbagai konsep dan kegiatan politik tidak layak untuk diperkenalkan pada murid-murid sekolah. Oleh karena itu, kurikulum pendidikan politik diajarkan secara sembunyi-sembunyi.
Pendidikan politik dengan berbagai muatannya pernah menimbulkan perdebatan tersendiri di kalangan para ahli pendidikan maupun ahli politik di Inggris. Terdapat golongan yang mendukung dan juga golongan yang menentang
Argumen-argumen yang mendukung pendidikan politik datang. baik dari golongan kanan maupun dari golongan kiri dunia politik. Tokoh-tokoh yang mendukung keberadaan pendidikan politik antara lain Nicholas Haines, Denis Heater, Robert Stradling, Robert Dunn, dan Profesor Ridley. Sedangkan tokoh-tokoh yang menentang pelaksanaan pendidikan politik di persekolahan antara lain adalah Samuel Beers, Roger Scruton, Sir Karl Popper, Michael Oakeshott, dan Michael Polanyi.
Argumen yang sangat mendukung keberadaan pendidikan politik datang dan Denis Heater. Heater mengemukakan bahwa golongan orang dewasa seharusnya dapat membuat pilihan dan sudah siap untuk ambil bagian dalam beberapa kegiatan politik di dalam suatu sistem demokrasi yang representatif. Untuk itu, pendidikan politik harus diperkenalkan sejak dini agar mereka sudah sangat memahami prosedur politik yang benar pada saat dewasa nanti.
Untuk mendapatkan hal tersebut, anak-anak bukan hanya harus diajarkan politik dan diberi keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk berpartisipasi melainkan juga harus diperbolehkan untuk ikut ambil bagian dalam pengambilan keputusan. Kesemuanya itu dapat dilakukan dalam lingkup lembaga kecil, salah satunya yaitu sekolah.
Pendapat Denis Heater tersebut sangat berlawanan dengan argumentasi yang datang dari Michael Oakeshott dan Michael Polanyi yang menyatakan hahwa sangat ganjil mengajarkan keahlian berpolitik kepada generasi muda.
Oakeshott menegaskan bahwa dalam mempelajari muatan dari suatu mata pelajaran membutuhkan proses yang lain. Ketika masuk universitas maka, barulah siswa mulai dapat memberikan kritik dan kontribusi mereka terhadap mata pelajaran tersebut. Jadi, ide bahwa murid dapat atau bahkan harus belajar kritis sejak dini hanyalah omong kosong belaka.
Argumentasi yang sama juga berlaku untuk politik. Oakeshott ; Robert Brownhill, 1989:16) menyatakan bahwa "polities is an art which it e can only gradually learn through experiences and by watching and listening to others.. ­Keahlian dan pengetahuan tidak diberikan secara langsung oleh guru di sekolah, namun didapat oleh murid dengan cara memperhatikan, mendengarkan, dan akhirnya mempraktekkannya. Jadi, pada dasarnya kemampuan memahami dan mempraktikkan politik hanya dapat diperoleh melalui pengalaman di dalam suatu tatanan politik dengan cara berlatih sebagai pemula terlebih dahulu.
Dalam artian yang, lehih luas, para penentang pendidikan politik mengatakan bahwa para pendukung pendidikan politik di sekolah kurang memahami tidak hanya sifat proses belajar saja namun juga sifat dunia politik. Usaha untuk menyelenggarakan pendidikan politik secara langsung dianggap kurang tepat. Pendidikan politik di sekolah hanya akan mengajarkan prinsip-­prinsip dan nilai-nilai politik yang kurang begitu dipahami dan juga sikap kritis tanpa dilandasi pemahaman tentang apa yang dikritiknya tersebut.
Pro dan kontra yang terjadi di Inggris dalam memperdebatkan keberadaan pendidikan politik tidak dapat kita lepaskan dari bentuk pemerintahan negara Inggris yang mengambil model demokrasi representatif Inggris sebagai negara demokrasi dengan model representatif tentunya mencoba untuk mengajarkan warga negaranya agar dapat berpartisipasi secara aktif dalam berbagai kegiatan politik. Hal tersebut penting dilakukan untuk mendukung dan mempertahankan jalannya pemerintahan. Namun, di kalangan para ahli sendiri masih tersimpan pertanyaan besar, apakah usaha untuk menanamkan kesadaran berpolitik tersebut harus dilakukan melalui jalur sekolah ataukah tidak?
b.      Perkembangan Pendidikan Politik di Dunia Islam
Keterkaitan yang lebih jelas antara pendidikan dan politik dapat kita lihat di dunia Islam. Sejarah peradaban Islam banyak ditandai oleh kesungguhan ulama dan umara dalam memperhatikan persoalan pendidikan. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh M. Sirozi (2005:3) bahwa "perkembangan kegiatan-kegiatan kependidikan banyak dipengaruhi oleh para penguasa dan para penguasa memerlukan dukungan institusi-institusi pendidikan untuk membenarkan dan mempertahankan kekuasaan mereka.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat terlihat bahwa institusi politik pada waktu itu turut mewarnai corak pendidikan yang berkembang. Keterlibatan penguasa dalam kegiatan pendidikan tidak hanya sebatas dukungan moril saja, namun juga dalam bidang administrasi, keuangan, dan kurikulum.
Masjid-masjid dan madrasah yang pada waktu itu sering dijadikan tempat belajar ilmu Islam tidak luput dari pengaruh institusi politik. Peranan yang dimainkan oleh masjid-masjid dan madrasah dijadikan fondasi untuk mendukung kokohnya kekuasaan politik para penguasa.
Kedudukan politik di dalarn Islam sama pentingnya dengan pendidikan. Tanpa otoritas politik, syariat Islam sangat sulit bahkan mustahil untuk bisa ditegakkan. Kekuasaan adalah sarana untuk mempertahankan syiar Islam. Di lain pihak, pendidikan bergerak dalam usaha untuk menyadarkan umat untuk menjalankan syariat. Umat tidak akan mengerti tentang syariat bila tanpa pendidikan. Bila politik (kekuasaan) berfungsi mengayomi dari atas, maka pendidikan melakukan pembenahan lewat arus bawah.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa lembaga pendidikan adalah sarana dakwah. Pendidikan sering dijadikan media dan wadah untuk menanamkan ideolodi negara atau tulang yang menopang kerangka politik. Pendidikan Islam tidak hanya berjasa menghasilkan para pejuang yang militan dalam memperluas peta kekuasaan namun juga para ulama yang berhasil membangun tatanan masyarakat yang sadar hukum dan taat pada pemerintah.
c.       Perkembangan Pendidikan Politik di Indonesia
Di Indonesia, kepedulian terhadap hubungan pendidikan dan politik sudah mulai herkembang dalam wacana publik. Walaupun belum menjadi satu bidang kajian akademik. Publikasi berbagai seminar ataupun diskusi yang mengangkat tema tentang pendidikan dan politik masih kurang terdengar. Andaipun ada, fokus bahasannya belum begitu menyentuh aspek-aspek substantif hubungan politik dan pendidikan, hanya masih di seputar aspek-aspek ideologis politik pendidikan. Walaupun demikian, keyakinan akan adanya hubungan yang tak terpisahkan antara politik dan pendidikan sudah mulai terbentuk.
Mochtar Buchori (M. Shirozi, 2005:30) mengemukakan bahwa terdapat beberapa pemikiran yang mendukung mulai berkembangnya kesadaran masyarakat terhadap hubungan antara pendidikan dan politik yaitu:
Pertama, adanya kesadaran tentang hubungan yang erat antara pendidikan dan politik. Kedua, adanya kesadaran akan peran penting pendidikan dalam menentukan corak dan arah kehidupan politik. Ketiga, adanya kesadaran akan pentingnya pemahaman tentang hubungan antara pendidikan dan politik. Keempat, diperlukan pemahaman yang lebih luas tentang politik. Kelima, pentingnya pendidikan kewarganegaraan (civic education).

Penjelasan Muchtar Buchori di atas menggambarkan suatu keyakinan terhadap hubungan erat antara pendidikan dan politik. Terdapat keyakinan yang sangant kuat bahwa melalui pendidikan dapat menghasilkan pemimpin politik yang berkualitas.
Paparan penjelasan di atas, pada akhirnya dapat menimbulkan satu pertanyaan mengenai hubungan pendidikan dengan politik. Akankah politik harus memasuki wilayah pendidikan untuk menjalankan fungsi dan tujuannya dan juga sebaliknya? Melalui pendidikan seorang siswa akan paham secara tidak langsung mengenai seluk beluk politik. Begitu pula sebaliknya, bahwa dunia politik adalah salah satu sarana untuk rnengaplikasikan berbagai ilmu yang telah didapat siswa melalui dunia pendidikan. Para siswa tidak dapat acuh tak acuh terhadap segala sesuatu yang terjadi di luar dunia sekolahnya.
Sekiranya penjelasan di atas dapat menggambarkan bahwa terdapat hubungan yang erat dan tak dapat dipisahkan antara pendidikan dan politik. Kedua aspek tersebut memiliki hubungan yang saling memengaruhi dan saling membutuhkan satu sama lain.
Untuk lebih jelas memahami kaitan antara pendidikan politik di jalur persekolahan, akan dipaparkan secara lebih lanjut mengenai konsep pendidikan politik dan Pendidikan Kewarganegaraan dalam bahasan selanjutnya
3.      Landasan Hukum Pendidikan Politik
Pendidikan politik merupakan suatu sarana untuk meningkatkan kesadaran berbangsa dan hernegara yang dilaksanakan secara berkesinambungan dan terencana. Pelaksanaan pendidikan politik, harus berpegang teguh pada falsafah dan kepribadian bangsa Indonesia. Secara tidak langsung pendidikan politik merupakan bagian integral dari keseluruhan pembangunan bangsa yang dilaksanakan sesuai dengan landasan yang telah mendasari kehidupan bangsa Indonesia.
Berdasarkan Inpres No. 12 tahun 1982 tentang Pendidikan Politik bagi Generasi Muda (1982:13), maka yang menjadi landasan hukum pendidikan politik adalah sebagai berikut:
Landasan pendidikan politik di Indonesia terdiri dari:
a.       landasan ideologis, yaitu Pancasila
b.      landasan konstitusi, yaitu UUD 1945
c.       landasan operasional, yaitu GBHN
d.      landasan historis, yaitu Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan Proklamasi 17 Auustus 1945".
Landasan yang tersebut di atas merupakan landasan pokok pendidikan politik yang disertai landasan kesejarahan. Hal ini penting karena warga negara terutama siswa harus mengetahui sejarah perjuangan bangsa agar memiliki jiwa, semangat, dan nilai-nilai kejuangan 1945.
4.      Fungsi Pendidikan Politik
Fungsi pendidikan politik sangat penting sebab pendidikan politik meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang kehidupan politik yang pada gilirannya akan mendorong timbulnya kesadaran politik secara maksimal dalam suatu sistem politik.
Merujuk pada beberapa pengertian pendidikan politik yang telah disebutkan sebelumnya, maka pendidikan politik mempunyai dua tujuan utama. Pertama, fungsi pendidikan politik adalah untuk mengubah dan membentuk tata perilaku seseorang agar sesuai dengan tujuan politih yang dapat menjadikan setiap individu sebagai partisipan politik yang bertanggung jawab. Kedua, fungsi pendidikan politik dalam arti yang lebih luas untuk membentuk suatu tatanan masyarakat yang sesuai dengan tuntutan politik yang ingin diterapkan.
Inti dari pendidikan politik adalah mengenai bagaimana rakyat direkrut dan disosialisasikan. Jadi, fungsi dari pendidikan politik adalah untuk menjelaskan proses perekrutan dan upaya sosialisasi kepada rakyat untuk mengerti mengenai peranannya dalam sistem politik serta agar dapat memiliki orientasi kepada sistem politik.
Fungsi yang disampaikan di atas lebih menonjolkan fungsi pendidikan politik dalam mengubah tatanan masyarakat yang ada menjadi lebih baik dan lebih mendukung tercapainya proses demokrasi. Sedangkan fungsi pendidikan politik bagi individu antara lain adalah:
1)      peningkatan kemampuan individual supaya setiap orang mampu berpacu dalam lalu lintas kemasyarakatan yang menjadi semakin padat penuh sesak dan terpolusi oleh dampak bermacam-macam penyakit social dan kedurjanaan.
2)      di samping mengenai kekuasaan, memahami mekanismenya, ikut mengendalikan dan mengontrol pelaksanaan kekuasaan di tengah masyarakat.
Fungsi pendidikan politik bagi individu yang tertera di atas tidak hanya mengubah individu tapi juga membentuk individu yang baru. Dalam artian bahwa seseorang individu dengan melalui pendidikan politik tidak hanya memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang politik tapi juga mempunyai kesadaran dan sensitifitas dalam berpolitik yang direalisasikan dalam bentuk perbuatan yaitu dengan ikut berpartisipasi atau ditunjukkan dengan sikap dan perilaku politif yang lebih luas dalam usahanya untuk mencapai tujuan politik.
5.      Tujuan Pendidikan Politik
Tujuan diadakannya pendidikan politik secara formal terdapat dalam Inpres No. 12 Tahun 1982 tentang Pendidikan Politik bagi Generasi Muda yang menyatakan bahwa:
Tujuan pendidikan politik adalah memberikan pedoman kepada generasi muda Indonesia guna meningkatkan kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara. Sedangkan tujuan pendidikan politik lainnya ialah menciptakan generasi muda Indonesia yang sadar akan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai salah satu usaha untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya.

Berdasarkan pemaparan tentang tujuan pendidikan politik di atas, penulis berpendapat bahwa yang menjadi tujuan utama dari pendidikan politik adalah agar generasi muda saat ini memiliki kemampuan untuk memahami situasi sosial politik penuh konflik. Aktifitas yang dilakukan pun diarahkan pada proses demokratisasi serta berani bersikaf kritis terhadap kondisi masyarkat di lingkungannya. Pendidikan politik mengajarkan mereka untuk mampu mengembangkan semua bakat dan kemampuannya aspek kognitif wawasan kritis, sikap positif, dan keterampilan politik. Kesemua itu dirancang agar mereka dapat mengaktualisasikan diri dengan jalan ikut berpartisipasi secara aktif dalam bidang politik.
Dari tujuan pendidikan politik di atas, dapat dilihat bahwa antara tujuan pendidikan politik dengan fungsi yang dimilikinya hampir sama. Tercapainya fungsi dan tujuan pendidikan politik merupakan keberhasilan dari diadakannya pcndidikan politik itu sendiri.
  1. Bentuk Pendidikan Politik
Keberhasilan pendidikan politik tidak akan dapat tercapai jika tidak dibarengi dengan usaha yang nyata di lapangan. Penyelenggaraan pendidikan politik akan erat kaitannya dengan bentuk pendidikan politik yang akan diterapkan di masyarakat nantinya. Oleh karena itu, bentuk pendidikan politik yang dipilih dapat menentukan keberhasilan dari adanya penyelenggaraan pendidikan politik ini.
Bentuk pendidikan politik menurut Rusadi Kartaprawira (2004:56) dapat diselenggarakan antara lain melalui:
1.      bahan bacaan seperti surat kabar, majalah, dan lain-lain bentuk publikasi massa yang biasa membentuk pendapat umum.
2.      siaran radio dan televisi serta film (audio visual media).
3.      lembaga atau asosiasi dalam masyarakat seperti masjid atau gereja tempat menyampaikan khotbah, dan juga lembaga pendidikan formal ataupun iniformal.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat kita lihat bahwa pendidikan politik dapat diberikan melalui verbagin jalur. Pemberian pendidikan politik tidak hanya dibatasi oleh lembaga seperti persekolahan atau organisasi saja, namun dapat diberikan melalui media, misalnya media cetak dalam bentuk artikel.
Apapun bentuk pendidikan politik yang akan digunakan dan semua bentuk yang disuguhkan di atas sesungghnya tidak menjadi persoalan. Aspek yang terpenting adalah bahwa bentuk pendidikan politik tersebut mampu untuk memobilisasi simbol-simbol nasional sehingga pendidikan politik mampu menuju pada arah yang tepat yaitu meningkatkan daya pikir dan daya tanggap rakyat terhadap masalah politik. Selain itu, bentuk pendidikan politik yang dipilih harus mampu meningkatkan rasa keterikatan diri (senseof belonging) yang tinggi terhadap tanah air, bangsa dan negara.
Apabila diasosiasikan dengan bentuk politik yang tertera di atas, maka menurut penulis yang menjadi tolak ukur utama keberhasilan pendidikan politik terletak pada penyelengaraan bentuk pendidikan politik yang terakhir yaitu melalui jalur lembaga atau asosiasi dalam masyarakat. Dalam hal ini penulis sangat sependapat bila pendidikan politik lebih ditekankan melalui jalur pendidikan formal. Pendidikan politik formal yaitu pendidikan pulitik yang diselenggrakan melalui lembaga resmi (sekolah).
7.      Urgensi Pendidikan Politik
Pendidikan politik dapat dikatakan sebagai media penyampaian konsep politik yang memiliki tujuan akhir untuk membuat warga negara menjadi lebih melek politik. Warga negara yang melek politik adalah warga negara yang sadar akan hak dan kewajiban sehingga dapat ikut serta dalam kehidupan berbangsa dan hernegara dalam setiap proses pembangunan. Pendidikan politik diperlukan keberadaannya terutama untuk mendidik generasi muda saat ini yang nantinya akan menjadi generasi penerus bangsa.
Eksistensi pendidikan politik di sini adalah sebagai tongkat estafet kepada generasi selanjutnya dalam dalam memahami konsep-konsep politik kenegaraan. Fungsi pendidikan politik yang paling periling adalah sebagai penyaring (filter) terhadap berbagai pemikiran baru, ideologi baru. dan berbagai ancaman, tantangan, hambatan. serta gangguan baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri.
Pemerintah telah menyadari bahwa generasi muda saat ini tengah hidup di dalam era globalisasi yang penuh dengan persaingan dan kompetisi antar individu. Kebebasan menjadi satu bagian yang penting dalam era ini. Sadar akan hal tersebut, pemerintah mencoba untuk membangun tameng yang dapat melindungi generasi muda saat ini dari pelunturan dan penghilangan jati diri bangsa. Kekhawatiran pemerintah ini tercermin dalan Inpres No. 12 Tahun 1982 tentang Pendidikan Politik bagi Generasi Muda yang di dalamnya menyebutkan bahwa:
Kaum muda dalam perkembangannya berada dalam proses pembangunan dan modernisasi dengan segala akibat sampingannya yang bisa mempengaruhi proses pendewasaanya sehingga apabila tidak memperoleh arah yang jelas maka corak dan warna masa depan negara dan bangsa akan menjadi lain daripada yang dicita-citakan.

Perkembangan zaman yang terasa sangat cepat jika tidak dibarengi dengan wawasan berpikir yang luas hanya akan membawa generasi muda bangsa ini ke dalam kehidupan yang lepas kendali. Oleh karena itu, pendidikan politik diperlukan sebagai.filter terhadap segala pengaruh buruk yang mungkin datang.
Jadi, pada kesimpulannya pendidikan politik merupakan salah satu upaya yang ditempuh oleh pemerintah dalam memberikan arah pada generasi muda saat ini agar memiliki pemahaman yang jelas terhadap arah tujuan bangsa.
8.      Pokok-Pokok Materi Pendidikan Politik
Pokok-pokok materi pendidikan politik sepenuhnya tertuang sebagai muatan yang terkandung dalam kurikulum pendidikan politik. Kurikulum pendidikan politik adalah jarak yang harus ditempuh oleh seorang siswa dalam mencapai target yaitu melek politik yang ditandai dengan menguatnya daya nalar terhadap berbagai aktifitas politik dalam infrastruktur maupun suprastruktur politik
Robert Brownhill (1989:110) mengajukan beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam proses pembuatan kurikulum pendidikan politik, yaitu:
1)      an ethical base should be develop, which would include respect for other, tolerances, and an understanding of the principle of treating others as one would like to be treated one self;
2)      aconsideration of how rules can be changed;
3)      nature of rules and authority;
4)      conceptof obligation to legitimate authority;
5)      an understanding of some basicpolitical concepts, e.g, freedom, equality, justice, the rule of law, and of some of the arguments related to these concepts;
6)      an understanding of the basic structure of central and local government.
7)      Some understanding of the working of the national and international economy;
8)      Some knowledge of recent Brotish and international history;
9)      Self analysis.

Berdasarkan pendapat Robert Brownhill di atas, jelas terlihat bahwa dalam mengembangkan kurikulum pendidikan politik, seorang guru harus pula memasukan mata pelajaran lain yang sekiranya ada hubungannya dengan pendidikan politik seperti di atas disebutkan yaitu mata pelajaran sejarah dan ekonomi dalam artian bahwa mata pelajaran lain tersebut bersifat sebagai pelengkap (komplementer) terhadap pendidikan politik.
Kurikulum pendidikan politik yang dicanangkan oleh Robert Brownhill di atas telah cukup lengkap. Seperti kita lihat, Brownhill tidak hanya memasukkan unsur materi politik namun juga terdapat unsur etika, ketaatan pada hukum dan kekuasaan, pemahaman terhadap jalannya pemerintahan dan pembuatan kebijakan, serta masalah ekonomi dan sejarah.
Hal-hal yang mengenai kurikulum pendidikan politik diatur dalam Instruksi Presiden No. 12 Tahun 1982 tentang Pendidikan Politik bagi Generasi Muda yang menyebutkan bahwa bahan pendidikan politik antara lain:
a.       penanaman kesadaran berideologi, berbangsa, dan bernegara,
b.      kehidupan dan kerukunan hidup beragama;
c.       motivasi berprestasi;
d.      pengamalan kesamaan hak dan kewajiban, keadilan sosial, dan penghormatan atas harkat dan martabat manusia;
e.       pengembangan kemampuan politik dan kemampuan pribadi untuk mewujudkan kebutuhan dan keinginan ikut serta dalam politik;
f.       disiplin pribadi, sosial, dan nasional;
g.      kepercayaan pada pcmcrintah;
h.      kepercayaan pada pembangunan yang berkesinambungan.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat kita lihat bahwa terdapat satu materi yang membedakan kurikulum pendidikan politik menurut Brownhill dengan bahan kurikulum pendidikan politik di Indonesia. Dalam kurikulum pendidikan politik di Indonesia, telah memasukkan unsur materi agama yang merupakan ciri khas bangsa Indonesia dalam bahan pendidikan politik.
Bahan pendidikan politik di Indonesia harus bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dan berbagai makna yang dipetik dari perjuangan bangsa Indonesia. Semua bahan ajar pendidikan politik tersebut telah tercakup dalam mata pelajaran PKn.


DAFTAR PUSTAKA
 Affandi, Idrus. (1996) Kepeloporan Organisasi Kemasyarakatan Pemuda dalam Pendidikan Politik. Disertasi Pasca Sarjana IKIP Bandung. Tidak diterbitkan.

Almond, Gabriel. (1990) Budaya Politik, Tingkah Laku, Demokrasi di Lima Negara Jakarta: Bumi Aksara.  ,

Al Muchtar, Suwarma (2000) Pengantar Studi Sistem Politik Indonesia. Bandung. Gelar Pustaka Mandiri.

Arikunto, Suharsimi. (1998) Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta Rineka Cipta.

Budiardjo, Miriam. (1998) Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka utama

Djahiri, A Kosasih (1904) Landasan organisasi Kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan Persekolahan, Bandung: Lab PKn UPI.

____________________. (1996) Dasar-Dasar Umum Metodologi dan Pengajaran Nilai-Nilai PVCT. Laboratorium PKN.

____________________. (1999) Modul Politik Kenegaraan dan Hukum. Universitas Terbuka. Jakarta.

Djuharie, Otong Setiawan. (2001) Pedoman Penulisan Skripsi Tesis Desertasisi. Bandung: Yrama Widya.

Kartono, Kartini. (1990) Wawasan Politik Mengenai Sistem Pendidikan Nasional. Bandung: Penerbit CV Mandar Maju.

Kantaprawira, Rusadi. (2004) Sistem Polilik Indonesia: Suatu Model Pengantar Bandung: Sinar Baru Algensindo

Koentjaraningrat. (1994) Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Nadzir, Mohammad. (1988) Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia

Prasetyo, Bambang dan Lina, Miftahul Jannah. (2005) Melode Penelitian Kuantitalif: Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sastroatmodjo, Sudijone. (1995) Perilaku Politik. Semarang: IKIP Semarang Press

Simandjuntak, B.,Pasaribu, I.L. (1990) Membina dan Mengembangkan Generasi Muda. Bandung: Penerbit Tarsito.

Sirozi, Muhammad. (2005) Politik Pendidikan: Dinamika Hubungan antara Kepentingan Kekuasaan dan Politik Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Surbakti, Ramlan. (1999) Memahami Ilmu Polilik. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Sumantri, Endang. (2003) Diktat Pendidikan Generasi Muda. Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan. FPIPS. Tidak diterbitkan.

Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Sekolah Menengah Atas (2006) Departeman Pendidikar. Nasional.

Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Republik Indonesia No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. (2003) Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.