Laman

Senin, 21 Februari 2011

Menggapai Ampunan-Nya dalam Ikhtiar dan Doa

Resensi Buku

Sakit. Kata itu terdengar begitu menyeramkan. Dan saat ia menimpa, yang langsung terpikirkan di dalam benak kita adalah obat, dokter, puskesmas, atau rumah sakit. Salahkah? Tidak, karena memang kita diwajibkan berikhtiar menggapai kesembuhan. Namun, bukan suatu hal yang baik tentunya, bila yang ada di dalam pikiran kita hanyalah obat, dokter, atau rumah sakit, tanpa memperhatikan sisi spiritual (rohani/jiwa). Padahal, sisi inilah yang semestinya pertama kali muncul ketika musibah sakit menimpa sehingga ikhtiar pengobatan yang dilakukan didasarkan atas perintah Allah dan mengikuti ketentuan yang telah digariskan dalam Islam.
Dengan demikian, kita takkan menuhankan dokter, kita takkan beranggapan bahwa dialah yang menentukan sembuh atau tidaknya seseorang. Dengan ilmunya yang serba terbatas, dokter hanyalah menjalankan proses ikhtiar. Selanjutnya, Allahlah yang menentukan berhasil atau tidaknya pengobatan tersebut.
Ketidakpahaman terhadap hakikat sakit, bagaimana semestinya kita bersikap dalam menghadapi musibah tersebut, serta ketidakmengertian kita akan taburan hikmah di balik musibah itu, menyebabkan kita menjadi panik, bersikap reaktif dan emosional, menyalahkan kondisi, bahkan menyalahkan Sang Pencipta. Na’udzubillaahi min dzalik. Walhasil, kita akan semakin didera penderitaan. Bulir-bulir mutiara yang tersembunyi di balik derita yang kita alami pun tak dapat kita temukan.
Buku ‘Sakitku Ibadahku’ ini mengajak kita semua, apa pun profesi kita, untuk mengubah paradigma dari ‘akal sentris’ menjadi ‘Ilahiyah sentris’. Akal merupakan potensi yang diberikan oleh Allah untuk dipergunakan dengan optimal dalam rangka menjalani misi sebagai khalifah di muka bumi. Namun, tidak berarti kita lantas menuhankan akal.
Pola pikir bahwa dokterlah yang menyembuhkan pasien adalah pola pikir yang -–bila tidak diluruskan—- akan menimbulkan sejumlah ekses negatif. Ketika pasien menganggap bahwa kesembuhannya ada di tangan dokter, ketika itu pula ia tengah bersiap-siap ‘menyerang’ dokter bila kesembuhan tak kunjung datang.
Karenanya, segala sesuatu -–yang berkaitan dengan musibah sakit yang menimpa—- harus dilihat dan ditempatkan secara proporsional. Melalui buku ini, kita diharapkan dapat memainkan peran dengan sebaik-baiknya sesuai dengan tuntunan Ilahiyah. Saat berperan sebagai dokter atau perawat, kita akan merasa bahwa sikap empati kepada pasien dan keluarga pasien adalah hal yang harus selalu dipraktikkan dalam situasi dan kondisi apa pun.
Bila kita sedang memainkan peran sebagai pasien, sikap optimis tentunya akan selalu kita jaga. Dan bila kita tengah diberikan peran sebagai keluarga atau kerabat pasien, kita tak hanya mencucurkan air mata duka, tetapi dengan tegar memberikan dorongan (support), bimbingan, dan arahan bagi pasien sehingga merasa terayomi.
Buku ini diawali dengan Prolog yang memaparkan bahwa kita tengah berjalan dalam ruang dan waktu yang harus dipahami dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Bagian-bagian selanjutnya menjelaskan hakikat sakit (Bab I), apa yang dapat kita lakukan ketika musibah menimpa (Bab II), do’a apa saja yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW ketika sakit (Bab III), bagaimana pelaksanaan shalat saat sakit (Bab IV), makna takdir (Bab V), godaan setan saat sakit (Bab VI), kewajiban keluarga, teman, dan petugas medis (Bab VII), serta diakhiri dengan Epilog berupa ajakan agar kita dapat bersabar dalam menghadapi musibah sakit. Buku ini biasa dibagikan gratis, atau diunduh di link berikut:
http://embunpagi-advertising.blogspot.com/2010/06/buku-open-publish.html

Kamis, 17 Februari 2011

Resensi Buku: Membangun Peradaban melalui Tulisan


Judul Buku : Jurnalisme Sekolah/Madrasah; Mengembangkan Potensi Guru Melalui Menulis
Penulis : Angga Teguh Prastyo
Penerbit : UIN-Maliki Press
Cetakan : Mei 2010
Tebal : x+ 170 halaman
Peresensi : Tina Siska Hardiansyah*)

Manusia, makhluk paling sempurna jika disandingkan dengan makhluk Tuhan yang lain. Ia dikaruniai akal dan hati sebagai bekal untuk membangun peradaban. Hakikatnya, peradaban dimulai dari aktivitas menulis. Kita flash back kepada bangsa Yunani yang sejarah peradabannya dikenal oleh dunia melalui tulisan-tulisan cendekiawannya, demikian juga dengan bangsa Mesir, babilonia dan Cina. Menulis bagaikan mesin waktu yang menghubungkan manusia dengan semua masa. Ia akan tetap exsist di segala kondisi dan zaman. Ia tak akan terhapus oleh masa.
Betapa hebatnya pemikiran-pemikiran yang tertuang dalam sebuah tulisan, dapat dibaca oleh siapapun, dimanapun dan dalam kondisi apapun. Dengannya komunikasi dapat berjalan lancar, ilmu pengetahuan, berita, baik lokal maupun internasional dapat tersebar luas seantero dunia. Tampaknya kita perlu menengok Hujjatul Islam ra yang mengatakan “ jika kau bukan anak pesohor, bukan anak pejabat, bukan anak konglomerat, maka menulislah, niscaya dengannya dunia akan mengenalmu dan menghargaimu sebagai manusia.”
Bagi agama Islam, menulis adalah instrumen terpenting yang mampu membawanya sampai di seluruh penjuru dunia. Dengan karya para ulama’ terdahulu yang selalu menuliskan ilmunya sehingga sampai saat ini tulisan-tulisan itu memiliki kontribusi yang besar bagi kehidupan manusia. Melalui tulisan jugalah Islam mampu membangun peradaban dunia.
Itulah hebatnya menulis, sehingga setiap individu hendaknya mencoba untuk menuliskan pemikiran-pemikiran kritisnya terkait lingkungan sekitar. Terlebih bagi seorang guru, maka menulis merupakan sebuah kewajiban baginya. Guru sebagai pendidik anak bangsa yang membimbing, mendidik dan mengarahkan mereka untuk menjadi generasi bangsa yang handal, intelek, kritis terhadap kondisi sekitar dan bermoral, memiliki peran yang sangat urgen dalam proses pendidikan. Selain itu pengaruh guru terhadap anak didik sangatlah besar, mengingat bahwa guru adalah orangtua kedua setelah orangtua kandung peserta didik. Karena itu, mengembangkan potensi guru harus didahulukan dan tidak dianggap sepele.
Ditambah lagi UU No. 20 tahun 2003 pasal 4 mengamanatkan agar dalam setiap penyelenggaraan pendidikan memuat prinsip mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat. Sehingga adalah kemutlakan untuk menggembleng peserta didik agar semangat membaca, menulis dan berhitung kembali hidup.
Selain itu, pada Permendiknas No. 41 tahun 2007 tentang standar proses untuk satuan pendidikan dasar dan menengah, menggariskan di setiap kegiatan inti dalam pelaksanaan pembelajaran, menggunakan metode yang meliputi proses explorasi, elaborasi, dan konfirmasi. Di sini, guru dianjurkan untuk mendidik peserta didik melalui tahapan-tahapan yang pasti. Pada tahap explorasi, guru mengajak peserta didik untuk membaca dan memahami berbagai informasi. Dilanjutkan dengan tahap elaborasi, guru memberikan tugas kepada peserta didik untuk menuliskan apa yang telah dipahami. Dan pada tahap terakhir guru mengevaluasi hasil karya peserta didik, sehingga peserta didik dapat melakukan revisi.
Jika guru dapat menjalankan amanat ini dengan baik, maka benar-benar telah mencapai derajat profesional, dan menulis akan menjadi budaya di kalangan pendidikan Indonesia. Dalam istilah Jawa guru adalah singkatan dari digugu lan ditiru. Istilah ini bukan berarti tanpa makna, akan tetapi menyimpan makna yang begitu dalam, bahwa guru adalah sosok yang harus menjadi suri tauladan yang baik bagi peserta didiknya. Sehingga peserta didik pun nantinya akan menjadi generasi bermoral yang akan membawa nama baik bangsa dan negara.
Untuk mendedikasikan dirinya sebagai guru yang profesional, seseorang harus memiliki ideologi bahwa menulis adalah hal simple dan mudah. Mengapa menulis menjadi hal urgen bagi seorang guru? Tentu ini adalah pertanyaan yang sebenarnya tidak memerlukan jawaban. Pada dasarnya, dalam menyampaikan ilmunya seorang guru tidak cukup hanya dengan menyampaikannya di dalam kelas saja, mengingat banyaknya mata pelajaran yang harus disampaikan dengan alokasi waktu yang amat minim dan terbatas. Sehingga dengan menuliskan pemikiran-pemikirannya, peserta didik dapat menggali ilmu guru dari tulisan-tulisannya.
Buku yang berjudul Jurnalisme Sekolah/Madrasah karya Angga Teguh Prastyo menjelaskan secara gamblang pentingnya membudayakan menulis di semua kalangan terutama guru. Sehingga budaya tersebut akan menjadi tradisi bagi peserta didiknya. Pertama, ia menjelaskan bahwa menulis menjadi pondasi bagi majunya sebuah peradaban. Pernyataannya disertai dengan bukti-bukti konkret masa lalu yang gemilang.
Kedua, ia menjelaskan bahwa untuk menjadi guru yang profesional, menulis adalah kewajiban yang harus dilakukan. Menulis memberikan berbagai dampak positif bagi guru, antara lain: guru semakin produktif dalam menghasilkan karya tulis yang dengan karyanya ia mampu membawa peserta didik maupun masyarakat pendidikan menuju bangsa yang berkeadaban. Lebih penting lagi bahwa dengan menuliskan pemikiran-pemikirannya seorang guru tidak memandang profesi hanya sekedar mencari harta kekayaan tetapi untuk meningkatkan khazanah keilmuan.
Ketika menulis telah membudaya di kalangan guru, penulis berharap para guru menerapkan budaya menulis kepada peserta didiknya. Guru hendaknya merintis kegiatan-kegiatan pendukung budaya menulis, seperti kegiatan ekstrakurikuler jurnalistik sebagai wahana untuk berlatih menulis.
Melalui karyanya ini, penulis berharap para guru menjadikan dirinya guru profesional dan bermoral yang akan membawa peserta didik menjadi calon generasi bangsa yang handal, intelek, profesional dan bermoral pula. Sehingga bagi para guru, menjadikan menulis sebagai budaya adalah langkah untuk memberi kontribusi pada Indonesia, agar pendidikan di Indonesia mengalami kemajuan yang pesat.
*) Mahasiswi UIN Maliki Malang Jurusan PBA semester III